Di era seperti sekarang
ini, globalisasi merupakan salah satu fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Hampir
seluruh negara di dunia terus-menerus beradaptasi dengan adanya globalisasi
berkat semakin pesatnya kemajuan di bidang transportasi dan komunikasi. Tapi masih
ada negara yang memilih untuk mengisolasi diri, seperti Korea Utara. Globalisasi
tidak akan bisa dipisahkan dengan “pengaruh asing”. Banyak Negara awalnya
berusaha tetap menjaga Negara mereka dari fenomena globalisasi ini, namun karena
semakin derasnya informasi dan kemajuan dari negara-negara lain, mau tak mau
mereka harus bisa beradaptasi dan mulai mengikuti arus globalisasi supaya tidak
tertinggal.
Di
Indonesia perdebatan mengenai dampak negatif dari globalisasi serta pengaruh
dan dominasi asing semakin menghangat terutama mengenai pengaruh IMF dalam
krisis ekonomi dan dominasi perusahaan-perusahaan asing pada industri-industri
strategis seperti perbankan, telekomunikasi, pertambangan serta minyak dan gas
bumi. Perdebatan juga semakin diperhangat dengan diskusi mengenai teori-teori
konspirasi yang berkaitan dengan globalisasi ekonomi, yang antara lain dipicu
oleh kontroversi buku Confessions of an Economic Hitman, karya John Perkins.
Terlepas
dari benar atau tidaknya klaim-klaim yang disebutkan dalam berbagai teori
konspirasi tersebut, sejarah menunjukkan bahwa globalisasi memang memiliki
sifat mengancam yang menakutkan. Dua kali perang dunia pada abad lalu dipicu
oleh persaingan global untuk memperebutkan sumber daya ekonomi. Contoh paling
mutakhir: pendudukan Amerika Serikat atas Irak yang telah berlangsung 4 tahun
juga menunjukkan hal yang sama meskipun dibungkus dengan berbagai argumen.
Namun
demikian, suka atau tidak suka, globalisasi adalah fakta yang harus dihadapi.
Belum pernah dalam sejarah terdapat suatu negara yang mampu secara konsisten
menghadapi globalisasi dengan menutup diri. Isolasi hanya mengakibatkan
terhambatnya pertukaran gagasan dan teknologi yang mengakibatkan kemunduran.
Cina merupakan contoh paling klasik. Politik isolasi China dimulai ketika
teknologi navigasi kelautan dipandang mulai memberikan ancaman sebagai sumber
masuknya pengaruh asing. Namun pada akhir abad ke-19 China yang lemah dalam hal
teknologi dan ekonomi tidak mampu menahan penggerogotan yang dilakukan
kekuatan-kekuatan asing.
Jepang
menutup diri setelah misi dagang Eropa dipandang mulai melakukan
aktifitas-aktiftas yang mengancam kepentingan nasional, namun 200 tahun
kemudian pada pertengahan abad ke-19 sekelompok kecil kapal Angkatan Laut
Amerika Serikat berhasil memaksa Jepang yang ketinggalan jaman untuk membuka
diri terhadap perdagangan global. Secara alamiah masyarakat memiliki kebutuhan
untuk berinteraksi, dan berkompetisi. Politik isolasi menghambat proses alamiah
tersebut.
Klise
untuk diucapkan bahwa kunci sebenarnya bukanlah menghindari globalisasi namun
mengelola tantangan yang dibawa oleh globalisasi. Namun memang demikian yang
terjadi. Jelas terdapat banyak negara dan masyarakat yang hancur dan
terbelenggu oleh dominasi asing yang dibawa oleh globalisasi, namun banyak juga
yang dengan cerdik mengambil manfaat dan berhasil berjuang menghadapinya.
Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan, misalnya, adalah negara-negara
yang ‘dikuasai’ dan ‘dimanfaatkan’, kalau tidak bisa disebut sebagai sekutu
oleh Amerika Serikat dan kekuatan barat lainnya. Namun negara-negara ini mampu
memanfaatkan ‘kedekatan’ mereka dengan Amerika Serikat untuk membangun fondasi
ekonomi dan teknologi yang solid untuk kepentingan mereka sendiri. Bandingkan
dengan Indonesia, Pakistan dan Filipina misalnya, yang juga merupakan ‘sekutu’
Amerika Serikat dalam perang dingin, namun tetap mengalami kebangkrutan.
Dominasi dan intervensi asing dalam berbagai aspek kehidupan di berbagai negara
merupakan sesuatu yang secara alamiah pasti terjadi. Dan di banyak negara
bentuk-bentuk intervensi tersebut bahkan mungkin jauh lebih tinggi
intensitasnya.
Jepang
merupakan contoh yang sangat tepat. Menjadi musuh Amerika Serikat dalam Perang
Dunia kedua, kalah, dijajah selama enam tahun, Jepang mampu menjadi superpower
ekonomi dalam waktu cukup singkat. Pada tahun 1985 ketika Amerika Serikat
merasa produk-produk otomotif Jepang mulai mengancam industrinya, Jepang
dipaksa menerima Plaza Accord yang menaikkan nilai tukar Yen dan mengakibatkan
harga produk-produk Jepang menjadi luar biasa mahal. Industri otomotif Jepang
bereaksi dengan memindahkan pabrikasi mereka ke negara-negara lain (termasuk ke
Amerika Serikat) dan memperkuat integrasi regional untuk menghindari biaya
tinggi. Tidak sampai satu dekade kemudian Jepang justru berhasil mendominasi
perekonomian Amerika, bahkan juga menguasai sektor-sektor yang strategis dan
prestigius seperti properti, media dan hiburan.
Contoh
lain adalah China dan India. China tetap merupakan musuh ideologis Amerika
Serikat, namun tidak menghalanginya untuk membangun diri menjadi superpower
ekonomi yang baru. Sebagai sekutu dekat Uni Sovyet selama perang dingin, India
jelas mengalami ‘pembalasan dendam’ setelah berakhirnya perang dingin yang
dimenangkan Amerika Serikat. Namun hal tersebut tidak menghalangi India untuk
mengembangkan industri teknologi informasi yang menjadi motor penggerak
pertumbuhan ekonominya.
Pada
industri minyak dan gas yang seringkali disebut sebagai contoh yang sangat
relevan dalam hal penguasaan asing juga terdapat beberapa contoh di mana
negara-negara berkembang mampu mengembangkan industri dan perusahaan
nasionalnya di tengah tekanan globalisasi. Malaysia, Brazil dan Norwegia
merupakan beberapa contoh negara yang mampu mempertahankan penguasaan mereka
dalam industri minyak dan gas nasional dan bahkan mengembangkan
perusahaan-perusahaan nasional mereka ke skala global dengan berupaya mengatasi
tantangan-tantangan pasar bebas yang dipaksakan oleh proses globalisasi.
Peringatan
Kebangkitan Nasional ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk menyudahi
polemik dan retorika anti pengaruh asing dan globalisasi. Globalisasi dan
pengaruh asing sudah menjadi kekuatan alamiah yang mempengaruhi semua
masyarakat di muka bumi, sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Pilihan yang
tersedia hanyalah menghadapinya dengan cermat. Pengaruh asing dapat
dianalogikan sebagai virus yang menakutkan, namun selama ketahanan nasional
sebagai sistem kekebalan tubuh cukup kuat, virus tersebut seharusnya tidak
menjadi kekuatan yang mengancam. Polemik dan retorika tidak membantu
menciptakan daya saing yang diperlukan untuk terwujudnya Kebangkitan Nasional.
Tidak
perlu paranoid dan rendah diri. Indonesia beberapa kali pernah menelurkan
gagasan-gagasan besar sebagai jawaban atas tantangan globalisasi. Indonesia
merupakan negara pertama yang memproklamasikan kemerdekaannya setelah Perang
Dunia kedua berakhir dan merupakan penggagas berdirinya Gerakan Non Blok pada
masa perang dingin. Indonesia juga merupakan penggagas sistem bagi hasil dalam
industri minyak dan gas sebagai alternatif terhadap sistem konsesi yang
dianggap sebagai bentuk kolonialisme baru. Kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam
implementasi gagasan-gagasan besar tersebut seharusnya dapat menjadi pemacu
semangat dalam melakukan perencanaan strategi dan konsolidasi yang lebih baik
dalam peningkatan kemampuan untuk menghadapi tantangan globalisasi.
daftar pustaka:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070525075833
daftar pustaka:
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=20070525075833
No comments:
Post a Comment